Senin, 17 Mei 2010

pengalamanku menulis cerita fiksi

Motivasi saya ketika ingin menjadi penulis cerita fiksi. Pertama untuk mencari kesibukan di rumah, karena bila urusan rumah tangga sudah selesai dan anak-anak pergi ke sekolah, saya tak punya kerjaan lain. Dari pada ngerumpi dengan tetangga lebih baik mengerjakan sesuatu yang bermanfaat. Motivasi ke dua, yaitu motivasi kebutuhan eksistensi diri, lebih disebabkan oleh perasaan kurang dihargai orang atau disepelekan orang. Dengan menjadi pengarang maka kita boleh berharap hasil karya kita akan dipandang dan dihargai banyak orang. Mula-mula saya menulis cerita pop biasa berupa novelet dan cerpen. Setelah beberapa kali dimuat di majalah, saya ingin menulis dengan tema yang lain, akhirnya pilihan saya jatuh ke cerita fiksi misteri.
Bukan hal mudah untuk mencari inspirasi dalam membuat suatu cerita misteri yang akan bisa disukai pembaca. Berhari-hari saya berkhayal mencari cerita yang kira-kira mampu saya tulis.
Inspirasi pertama datang ketika suatu malam, saya bermimpi yang begitu menakutkan. Yaitu mimpi berobat ke rumah sakit Perum Sanghyang Seri, sebuah rumah sakit peninggalan jaman Belanda. Dalam mimpi itu saya diperiksa oleh dokter bule. Ketika saya terbangun, bulu kuduk saya merinding, keringat bercucuran (saya orangnya penakut). Saya ingat di rumah sakit itu tak ada dokter orang kulit putih. Pikir saya, jangan-jangan dokter dan perawat yang memeriksa saya itu ruh-ruh gentayangan dari orang-orang yang dulu pernah bekerja di rumah sakit itu.
Keadaan di sana sangat menunjang untuk membuat satu cerita horor yang menakutkan, karena bangunan rumah sakit dan rumah-rumah gedung di sana ditambah pohon-pohon besar yang usianya sudah ratusan tahun kelihatan sangat menyeramkan.
Dari mimpi yang menyeramkan itu terbentuklah gambaran-gambaran masa silam sewaktu komplek perumahan Sang Hyang Seri masih merupakan wilayah P & T Land yang dikuasai Inggris. Dan akhirnya saya pun bisa membuat cerita berjudul "Menembus Waktu", suatu cerita misteri. Kata orang yang pernah membacanya di majalah Kartini cerita itu menakutkan.
Karangan itu bercerita tentang seorang gadis yang memasuki alam gaib di sebuah rumah sakit perkebunan. Ia jatuh cinta pada dokter yang memeriksanya. Seorang dokter berkebangsaan Inggris yang tampan. Keduanya saling jatuh cinta dan menjalin kisah cinta yang indah. Pertemuan selalu terjadi pada malam hari. Sayang kisah cinta itu tak bisa berlanjut karena ketika si gadis datang ke rumah sakit pada siang hari, ia tak bisa bertemu sang dokter.

Berikut cuplikan bagian akhir dari cerita misteri menembus waktu:
- Ketika aku menyadari bahwa aku telah memasuki alam gaib, kengerian seketika menyekap perasaanku, tak kudengar apa yang dibicarakan suster itu selanjutnya. Kini terungkap apa yang selama ini menjadi tanda tanya bagiku. Pantas kata dokter itu tadi malam, "Segalanya akan terungkap besok pagi ....". Oh, mengapa aku tidak menyadari bahwa selama ini aku terbawa ke alam gaib, pantas ia selalu berkata: "Menembus waktu delapan puluh tahun."
Nafasku terasa sesak, keringat dingin mengalir di sekujur tubuhku dan ruang itu terasa sunyi dan mati. Hanya ada suara-suara misterius yang mencekam, otakku tidak jalan dan tak bisa mencerna bahwa suara itu adalah suara suster yang sedang menguraikan panjang lebar ttg keadaan rumah sakit ini. Aku merasa sendirian dalam ruang yang luas itu. Semuanya jelas kini terhampar dalam lautan ingatan, dr. Rudolf, kuda putih, suster-suster yang pandai bahasa Belanda juga rumah Rudolf yang menyenangkan .... itu semua tidak ada. Semua ada kalau aku bisa menembus waktu delapan puluh tahun seperti yang dikatakan Rudolf. Semuanya hanyalah merupakan misteri terpisah jauh dariku oleh kabut tipis yang tak bisa kutembus. Dst.

Selesai menulis cerita itu aku bertanya-tanya dalam hati, mesti dikemanakan karangan ini. Saya tak berani mengirimnya ke media, karena kata orang, novel yang biasa dimuat di media adalah novel dari pengarang-pengarang yang sudah berpengalaman. Karena merasa sayang dengan tulisan itu dan teramat ingin dibaca orang, saya minta pendapat suami. Kata suami, kirim saja ke majalah Kartini, kalau tak dimuat paling-paling dibuang ke tempat sampah. Ternyata karangan itu tak ada di tempat sampah, tetapi dimuat di majalah Kartini n0. 284 bulan juni tahun 1985.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar