Jumat, 14 Oktober 2011

SENJA DI PEKUBURAN CIKADUT

SENJA DI PEKUBURAN CIKADUT
/>
Cerpen ini dimuat di majalah Kartini no.1o6. terbitan 22 September 2011.

Leoni ……
sudah lama kulupakan nama itu, tapi baru saja aku menerima sms yang mengingatkan nama itu. Sms itu berisi pesan supaya aku datang di pekuburan Cikadut di pinggiran kota Bandung untuk menemui seorang wanita bernama Leoni. Yang mengirim pesan adalah Lie sahabatku, katanya lagi aku harus datang di tempat yang aku janjikan 20 tahun yang lalu. Hmm aku benar-benar lupa …. Tapi setelah diingat-ingat aku seperti terseret ke belakang ke kota Bandung 20 tahun yang lalu, ke sebuah pekuburan Cina yang amat indah, Pekuburan Cikadut.
Di tempat itulah pertama kali aku bertemu Leoni, disaat aku menghadiri pemakaman seorang teman, yang juga kerabat Leoni. Sejak itu aku menjalin hubungan cinta dengan Leoni. Hubungan yang tak berjalan mulus, hubungan cinta yang terlarang. Karena orang tuanya tak pernah menyetujui hubungan kami.
Aku yakin temanku cuma iseng mengingatkan janji itu, kupikir walau pun ada saksi atas janji aku dan Leoni, tapi Leoni tidak akan ingat janji itu. karena aku tahu keadaannya sekarang. Dia sibuk dengan urusan rumah tangga dan kegiatannya sebagai isteri pengusaha kaya, isteri seorang konglomerat terkenal di negeri ini. Aku sering melihat kegiatan sosialnya di televisi.
Iseng-iseng kuhubungi temanku yang mengirim sms itu lewat telepon.
“Kau jangan main-main teman!, Leoni tak mungkin mengingatku.”
Lie terbahak mendengar omonganku.
“Kau jangan pesimis!, Leoni pasti datang. Aku tahu dia.”
“Apa kau menghubunginya juga?” Tanyaku.
“Oh, sama sekali tidak!, mana aku tahu nomor teleponnya.”
“Kalau begitu kita lupakan saja.”
“Tidak, jangan begitu!. Kau harus datang ke Pekuburan Cikadut tepat jam empat sore tanggal 20 Januari. Karena itulah yang kalian janjikan 20 tahun yang lalu, kau ingat waktu itu tanggal 20 Januari l990.”
“Iya aku ingat, tapi …..kenapa kau mengingatnya juga?”
“Dulu, diam-diam kucatat di buku harianku janji kalian berdua itu. Buku harian itu kutemukan beberapa hari yang lalu. Aku seperti diingatkan. Dan sekarang aku penasaran ingin tahu, apa Leoni ingat akan janji yang diucapkannya duapuluh tahun yang lalu?”
“Tapi …..kedatanganku ke sana pasti sia-sia, karena ….. mana mungkin dia bisa datang.” Aku tak bisa meneruskan kata-kataku karena Lie segera memotong pembicaraanku.
“Tidak ada tapi, kau harus datang memenuhi janjimu. Selain itu kita ingin tahu apakah dia masih ingat janji yang diucapkannya dulu.”.
Tadinya aku tidak akan mengingatnya lagi tapi anehnya aku penasaran.

--/--

Jika terkenang pertemuan terakhir yang memilukan dengan Leoni di Pekuburan Cikadut 20 tahun yang lalu, hatiku tersedu jiwaku mengisak oleh goresan masa silam. Torehan luka di hatiku mengucurkan darah. Kalau sekarang aku tak kan memenuhi janjiku, rasanya tak kuasa lagi aku menginjak kota Bandung, kota kenangan yang membuat hidupku dulu merana karena cinta yang patah di tengah jalan. Tak pernah sekali pun aku menginjak kota itu selama 20 tahun semenjak aku terusir oleh orang tua Leoni. Tuan William Shen seorang pengusaha kaya pemilik pabrik textil terbesar di kota Bandung naik pitam karena puteri terkasihnya mencintai aku seorang karyawan miskin. Seorang buruh pabrik alangkah hina di mata Tuan Shen, bagaikan seonggok barang tak berharga, yang tak kan pernah punya masa depan yang cerah.
Sewaktu Tuan Shen menolak lamaranku serasa aku memasuki gerbang kematian. Seringkali aku mentertawakan diriku sendiri mengingat ketidak mampuanku menaklukan hati Tuan Shen yang sudah tua itu. Meskipun Leoni telah berjuang menyatakan aku adalah laki-laki yang sangat dicintainya, hati tuan Shen tak tergoyahkan.
Sewaktu aku meninggalkan rumah Tuan Shen cintaku masih menggebu-gebu padahal cintaku itu hanyalah merupakan suatu kegilaan karena walau pun cinta Leoni sama besarnya …. dirinya dan diriku tak mungkin bisa bersatu. Hati kami berdua selalu bersorak tentang harapan di ujung jalan cinta kami berdua . Pikir kami bukankah kemenangan cinta kami bisa diperjuangkan dengan sekuat tenaga? tapi jalan pikiran kami akhirnya meleset jauh karena orang tua Leoni begitu menghalangi dan semua berantakan.
Kami hanya punya satu kesempatan bertemu untuk yang terakhir kalinya yaitu di tempat pertama kali kami bertemu di Pekuburan Cikadut. Waktu itu dengan disaksikan sahabatku Lie - kami berjanji akan bertemu kembali di tempat itu 20 tahun yang akan datang.
Sekarang waktu yang dijanjikan itu tiba.
Kalau isteriku masih hidup tentu aku tidak akan pergi, kutakut isteriku akan cemburu karena ia tahu aku pernah menjalin hubungan cinta dengannya.
Dalam rentang waktu yang sangat lama itu, bukannya aku tidak pernah berjumpa. Aku pernah berjumpa dengannya 5 tahun yang lalu di kedutaan besar Indonesia di Amerika. Ia ke sana bersama suaminya dalam lawatan bisnis, dan aku berada di negeri itu dalam rangka menyelesaikan sekolahku dibidang management perusahaan. Terbayang dalam ingatanku ia kaget setengah mati aku berada di negeri itu, Tapi akhirnya ia sadar karena ia tahu aku, aku adalah pekerja keras, aku tak pernah mau ketinggalan. Walau pun dulu aku adalah buruh pabrik, tapi waktu itu aku bekerja sambil kuliah. Aku berhasil mencapai gelar kesarjanaanku dan aku bisa bekerja di tempat yang baik. Tempat yang bisa menyekolahkan aku di Amerika.
Waktu itu sejenak kami bertatapan, dan kulihat rona kesedihan di wajahnya. Kemudian kami saling menyapa dan ia sempat memperkenalkan suaminya kepadaku. Ia masih jelita walau pun katanya ia sudah mempunyai tiga orang anak.. Waktu itu kami tidak punya kesempatan bertemu kembali karena keesokkan harinya ia pulang ke Indonesia. Dan sejak itu aku benar-benar ingin melupakannya. Tak ada gunanya mengingat dia, tak ada untungnya bagiku, malah hati yang tersiksa. Demikian pikirku waktu itu.
Sekarang aku merasa ada yang aneh pada diriku setelah sahabatku mengingatkan janji itu. Wajah yang telah dilupakan itu kini muncul di pelupuk mataku, seakan mengikuti kemana langkahku pergi. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi memenuhi janjiku, menemuinya di Pekuburan Cikadut!
Pekuburan Cikadut adalah sebuah pekuburan Cina yang sangat indah, terletak di perbukitan dengan jalan turun naik yang berliku-liku. Banyak pohon besar menaungi pusara berkubah dan bercungkup sangat indah, tempat persemayaman orang-orang yang tidak pernah tahu bahwa rumah mini di atasnya begitu elok.
Aku sampai di puncak pekuburan itu bersamaan dengan matahari senja yang bersinar keemasan.. Di senja itu seluruh areal pekuburan bermandikan cahaya matahari kuning cemerlang. Sebelum kakiku melangkah mencari tempat dimana aku dulu sering berjumpa dengan Leoni, aku berdiri dulu memandang ke bawah ke arah kota Bandung, ke arah rumah Tuan Shen nun jauh di sana. Dan sebelum pandang mataku tiba di sana melewati dulu kuburan-kuburan dengan arsitektur indah memenuhi perbukitan.. Kubah dan cungkup-cungkup bangunan di atas pusara tampak berkilauan. Pandangan mataku seperti melayang-layang di permukaan bumi, dan aku sama sekali belum merasakan kehadiran Leoni.
Aku menemukan tempat itu, tidak berubah sama sekali, kuburan engkongnya Leoni masih tetap seperti dulu, megah dan elok karena dilengkapi taman kecil dan kolam ikan hias. Hanya tak jauh dari sana ada pekuburan baru yang tak kalah cantik. Aku tidak memperhatikan kuburan itu, aku hanya duduk di tempat duduk yang disediakan bagi para pejiarah makam engkongnya Leoni.
Dahulu aku dan Leoni memilih tempat di pekuburan ini untuk bertemu, karena ini adalah tempat yang paling aman bagi kami. Orang tua Leoni tak pernah menyangka kalau puterinya sering menemuiku di sini.
Lama aku termenung mengingat-ingat masa lalu. Suasana sekeliling diriku begitu tenang semilir angina yang meniup dari arah timur, bisikannya begitu lembut seakan membisikkan sesuatu ke telingaku – menyampaikan berita bahwa dia tidak akan datang. Aku membalas bisikannya – biar saja dia tidak datang, aku tidak terlalu mengharapkan kedatangannya. Aku datang melaksanakan janji yang pernah kuucapkan dahulu juga aku datang karena aku ingin membuktikan kepatuhan janji seorang wanita.
Aku belum mau beranjak dari tempat dudukku walau pun waktu yang dijanjikan sudah lama berlalu. Mataku asyik menatap bayang-bayang tajam dedaunan pohon yang berdesir ditiup angin lalu. Aneh, perlahan-lahan dadaku dibebani rasa rindu yang tiada taranya. Ah, alangkah bodohnya aku ini, alangkah bodohnya! Merindukan bayangan yang tak kan terwujud menjadi suatu kenyataan . Leoni kini hanya bayangan yang harus segera kumusnahkan dari ingatanku, karena dia telah menjadi milik orang lain.
Aku melepas pandangan kearah bangunan indah peristirahatan engkongnya Leoni. Di situlah dulu Leoni sering berdoa supaya bisa berjodoh denganku.
Dan tak terasa jam sudah menunjukkan pukul empat lewat tigapuluh menit. Aku sudah akan beranjak pergi ketika terdengar suara seorang wanita.
“Kau jangan dulu pergi …… aku datang memenuhi janji.” Aku kaget ketika sesosok tubuh mucul dari balik pohon sebelah kiri bangunan kuburan baru. Aku menahan napas memperhatikan sosok tubuh yang berdiri di hadapanku. Aku tidak bisa bersuara, aku begitu tertarik untuk menatap matanya . Mata itu … oh! mata itu begitu indah, betapa mata itu berbicara begitu sarat tentang cinta, keindahan dan kerinduan yang lama terpendam . Baru sekarang aku bisa melihat lagi seraut wajah cantik yang begitu mempesona, kelembutan dan keanggunan terpadu pada dirinya. Aku segera sadar bahwa aku telah terbawa pesona wanita yang baru kulihat lagi setelah 20 tahun.
Aku tak menyangka Leoni akan datang. Aku memandangnya kagum, karena ia masih tetap cantik seperti dulu.
Aku menyalaminya kemudian membawanya ke tempat duduk.
“Firman …..” Ia memanggil namaku dengan bibir yang agak gemetar.
“Maafkan aku datang terlambat!”
“Enggak apa, akhirnya toh datang juga, tak kusangka ….” Kataku.
“Kalau aku merasa pasti kau akan datang.” Ia bergeser lebih mendekat. Kemudian meraih tanganku. Genggamannya erat sekali tapi kenapa tangannya terasa dingin?, mungkin karena udara saat itu sudah dingin menjelang sore.
“Sudah lama kau menungguku?” Tanyanya sambil menatap mataku.
“Kira-kira sejam yang lalu. Aku sudah hendak pergi karena menyangka kau tidak akan datang.”
“Kalau aku merasa yakin betul kau akan datang.”
“Kenapa kau begitu yakin aku akan datang?”
“Karena aku begitu menghendaki kedatanganmu. Aku selalu mengingat janji ini, karena setiap saat aku mengingatmu.” Aku tidak menyangka kalau akhirnya ia akan berkata seperti itu. Aku tidak berkata apa-apa lagi karena hatiku sangat sedih. Ia melanjutkan pembicaraannya.
“Aku menghitung hari dan tanggal setiap waktu, sampai lelah rasanya menantikan hari ini tiba. Bayangkan …..! 20 tahun!. Padahal sejak dulu aku yakin kau telah melupakan janji ini.”
“Aku rindu sekali padamu ….” Katanya sambil meraih tanganku, membawanya ke bibirnya dan membasahinya dengan air mata. Aku memeluknya dan menekankan kepalanya ke dadaku. Ia menangis dan aku tidak bisa berbuat apa-apa selain mengelus rambutnya dan berusaha menghentikan tangisnya.
“Mengapa seperti ini?” Tanyaku.
“Aku ….. hanya ingin kau tahu bahwa aku hidup dengan tiga orang anak dan seorang suami dalam satu rumah. Dengan harapan aku bisa membentuk sebuah rumah tangga yang bahagia, tapi harapanku sia-sia, karena yang kukawini bukan seorang laki-laki yang aku cintai. Anak-anak lahir dari perkawinan itu, dan itu bukan anak dari bunga percintaan. Aku menyayangi mereka hanya kewajiban sebagai seorang ibu. Sebenarnya kasihan mereka.” Ia berbicara sambil sesekali mengusap air mata.
“Kau jangan menangis, kau harus bahagia memiliki anak dan suami. Aku sebaiknya kau lupakan saja.”
“Tidak, karena jiwaku selalu ada didekatmu.”
“Ah, yang benar saja …. kau toh bukan manusia yang bisa menghilang.” Heran bicara Leoni sekarang kedengaran aneh. Aku segera mengalihkan pembicaraan.
“Suami dan anak-anakmu sekarang dimana?”
“Ada di rumah di Jakarta.”
“Apa mereka tahu kau berada di sini sekarang.”
“Mereka semua tahu, tapi mereka tidak tahu kalau aku bertemu denganmu di sini.”
“Kenapa kau mementingkan pertemuan ini, padahal kalau ketahuan kita berdua bisa celaka.”
“Oh, tidak akan, jangan khawatir!.” Ia meraih tanganku seraya menghujamkan lagi tatapannya. Aku tidak bisa melepaskan tanganku yang melekat seakan tak bisa dilepaskan lagi. Dan jantungku berdegup kencang ketika ia berkata.
“Aku rindu sekali padamu.”
“Aku pun rindu padamu, tapi …..” Ia memotong pembicaraanku.
“Jangan diteruskan!” Katanya sambil menutup mulutku dengan jari tangannya. Aku meraih tangannya dan berupaya meneruskan ucapaku yang terpotong.
“Dengar, aku tidak ingin merusak rumah tanggamu ……”
Setelah itu dia diam lama sekali, seakan matanya tidak memandangku, tetapi jauh menembus ke kejauhan yang tiada batas. Duduknya kaku sekali, jari-jari tangannya dirapatkan dan ditempelkan ke bibirnya yang pucat. Ketika akhirnya ia berbicara lagi, suaranya dingin, seperti angin yang pertama bertiup di musim hujan.
“Aku kini sudah bebas ….”
“Apa kau sudah bercerai ?” Tanyaku dengan perasaan kaget.
“Ya …… semacam itulah.” Aku tak mengerti, tapi aku tak lagi bertanya-tanya karena hari sudah mulai gelap, matahari sudah tenggelam dan malam pun telah tiba.
Aku segera mengajaknya pulang. Dan ia pun menyetujuinya.
“Kita tidak bisa pulang sama-sama ….” Katanya. “Karena tak boleh ada yang melihat kita.”
“Benar ….” Kataku. “Kau pergilah lebih dahulu, mungkin sopirmu menunggu di bawah. Aku nanti pulang sendiri.”
Sebelum melangkah ia berkata lagi. “Ingatlah kata kataku …. Aku tidak memintamu untuk mencintaiku, aku hanya memintamu supaya kau mengenang diriku, dan datang sekali-kali ke sini bila kau sempat.” Aku mengangguk dan ia pun pergi.
Malam sudah tiba tapi aku belum mau beranjak dari tempat dudukku, aku ingin memberi keleluasaan pada Leoni, supaya ia tak ketahuan sopirnya kalau ia habis bertemu denganku di sini.
Aku kembali ke hotel tempatku menginap, rencanaku besok aku akan kembali ke Jakarta. Aku terkejut dengan kedatangan Lie, padahal tidak ada janji untuk bertemu di sini.
“Untung kau memberitahu alamat hotelmu.” Katanya.
“Ada apa?”. Tanyaku heran karena ia kelihatan begitu cemas.
“Kau jadi pergi ke pekuburan Cikadut?.”
“Aku baru datang dari sana. Tak kusangka ia benar-benar memenuhi janjinya.” Lie benar-benar terkejut mendengar penuturanku.
“Apa …..? bertemu Leoni?. Benar-benar tak masuk akal.”
“Memang aku juga tidak menyangka ia akan memenuhi janjinya setelah 20 tahun berpisah. “ Lie memandangku sambil mundur beberapa langkah ia ketakutan seperti melihat hantu.
“Kenapa ketakutan seperti itu, aku tidak berubah, aku tidak menemukan yang aneh-aneh di kuburan itu. Aku …. hmm, aku bahagia bertemu Leoni.” Aku akhirnya tertawa. Kemudian aku meneruskan omonganku.
“Benar juga saranmu, untuk datang di pekuburan Cikadut. Kalau tidak …. kasihan Leoni, jauh-jauh dia menyempatkan datang.”
“Benarkah ….?” Tanyanya seperti tak percaya.
“Kau kira aku bohong ….. Leoni datang sejam setelah keberadaanku di sana, ia minta maaf karena terlambat, setelah itu ……” Aku tidak meneruskan omonganku karena Lie melarangku.
“Jangan diteruskan!, bacalah ini ……!” Katanya sambil menyodorkan harian surat kabar.
Aku membaca berita yang sangat mengejutkan. Disana terpampang iklan duka cita yang memenuhi satu halaman surat kabar.

……………………………………………………………………………………

TELAH MENINGGAL DUNIA DENGAN TENANG PADA HARI SENIN, TANGGAL l0 JANUARI 2010 JAM 12.00 WIB. ISTERI, MAMAH, SAUDARI KAMI YANG TERCINTA

L A N N I O (LEONI)
DALAM USIA 45 TAHUN
………………………………………………………………………………………

Aku tidak meneruskan bacaanku. Aku gemetar, kemudian kulihat photo yang terpampang di sudut kiri. Oh ….. ini benar-benar Leoni, meninggal dunia l0 hari yang lalu Kalau begitu siapa yang kutemui di pekuburan Cikadut? *****

Bandung – Cijerah, Mei 2011

Jumat, 23 September 2011

senja di pekuburan cikadut

"Senja Di pekuburan Cikadut" adalah cerpen terbaru saya, dimuat di majalah Kartini no 2305 edisi 22 Sept, 2011.
Ada kepuasan bathin tersendiri bila karya tulis bisa terbit di majalah terkenal. Bukan karena bakal terima honor tapi itu namaku terpampang sebagai pengarang.
Senja di pekuburan cikadut bercerita tentang seorang laki-laki yang suka bertemu kekasihnya gadis Tionghoa di sebuah pekuburan nan indah Cikadut. Karena cintanya tidak kesampaian mereka berdua membuat suatu perjanjian yaitu keduanya akan bertemu lagi 20 tahun mendatang di tempat yang sama yaitu di pekuburan cikadut.
Pekuburan nan indah itu menjadi saksi bisu akan sebuah janji sepasang kekasih.
Mungkinkah mereka bisa bertemu 20 tahun kemudian?,