Jumat, 28 Mei 2010

PENUNGGU JALAN SEMBILAN

cerpen Yatti Sadeli
Majalah Kartini no.457

PENUNGGU JALAN SEMBILAN


Jalur Pantura. Jalur maut bagi para sopir kendaraan yang tak mau berhati-hati.
Kecelakaan lalu lintas yang mengerikan hampir tiap saat terjadi di jalan raya Cikampek - Cirebon. Ada beberapa ruas jalan yang terkenal tempat nyawa terenggut karena tabrakan atau karena kendaraan yang terlempar ke pesawahan akibat sopir mengantuk. Diantara ruas jalan yang sering disebut sebagai ruas jalur tengkorak adalah jalan sembilan. Konon ada 2 cerita yang beredar dari mulut ke mulut bahwa jalan sembilan itu ada penunggunya. l. Mbah Jamrong!. Si Mbah itu tidak serakah, ia tidak ingin apa-apa dari kendaraan yang lewat, ia hanya ingin dihargai keberadaannya. Yaitu dengan membunyikan klakson sebagai tanda penghormatan. Supaya Si Mbah mendoakan selamat sampai di tujuan bagi kendaraan siapa saja yang lewat di jalan sembilan.
2.Manusia biasa. Kalau berkendaraan lewat ruas jalan sembilan, adakalanya kita melihat orang yang sedang duduk di bawah pohon di pinggir jalan. Kadang berkelompok kadang juga hanya satu atau dua orang. Apa yang sedang mereka lakukan?. Bukan sedang menunggu kendaraan umum karena hendak bepergian. Tapi mereka itu sedang menunggu mobil yang mengalami musibah tabrakan atau terlempar ke pesawahan. Bukan untuk menolong!, tapi untuk menjarah. Beruntung mereka kalau ada truk bermuatan yang terguling dan muatannya tumpah. Mereka akan bersorak kegirangan, panen jarahan!. Sepertinya barang-barang yang tertumpah itu adalah hak mereka. mereka bergerak cepat sebelum polisi datang.


PENUNGGU JALAN SEMBILAN

Cerita selengkapnya.


Malam itu hujan turun rintik-rintik, udara dingin, suasana sepi mencekam. Sesekali terdengar suara burung malam berteriak di udara. Di pinggir jalan raya kira-kira 100 meter dari persimpangan jalan sembilan, seorang laki-laki sedang duduk termenung di bawah pohon asem. Sudah sejak sore hari ia tenggelam dalam suasana hening. Apa yang ditunggu sebenarnya .... apakah dia sedang meminta-minta? Tidak, karena tak seorang manusia pun lewat malam itu. Sedang mencegat mobil karena hendak bepergian?. tidak juga! Karena mobil-mobil yang lewat di depannya melesat dalam kecepatan tinggi.
Laki-laki berumur tiga puluh tahun itu bernama Barun, rumahnya di kampung Hilir seberang pesawahan. Tadinya ia tidak sendirian. Ia berdua Kasmid tetangga sebelah rumahnya, tapi menjelang magrib Kasmid pulang. Katanya kesal, karena rezeki yang ditunggunya tidak kunjung datang. Barun pun hendak pulang menyusul Kasmid, tetapi ketika turun hujan ia mengurungkan niatnya. "Hujan begini yang kutunggu sejak sore, kenapa mesti pulang? Biasanya rejeki datang di waktu hujan. Bodoh benar si Kasmid ..." Gerutunya. "Tapi bairlah, dia nanti akan menyesal melihat aku pulang bawa rezeki banyak."
Kalau orang mendengar bisikannya pasti akan bertanya, bisa kedatangan rezeki bagaimana kalau cuma duduk di tempat sepi dan jauh kemana-mana dan hanya memperhatikan kendaraan yang berlalu cepat di depan hidung?
Orang tidak banyak yang tahu kalau di dekat persimpangan jalan 9 itu sering terjadi kecelakaan mobil. Truk-truk yang mengangkut barang atau bahan makanan dari Jawa bagian timur menuju Jakarta atau sebaliknya, sering mengalami kecelakaan, tabrakan dengan kendaraan lain atau terguling ke sawah. Di sana adanya rezeki nomplok seperti Barun, ia dan kawan-kawannya akan menjarah barang apa saja yang ada dalam kendaraan naas tadi sementara sopir dan yang empunya barang dibiarkan tak ditolong. Mereka akan bekerja cepat sebelum polisi datang. Tak ada yang memperhatikan karena daerah itu jauh dari perkampungan, sejauh-jauh mata memandang hanya pesawahan yang terlihat, satu-satunya gedung perkantoran yang terletak kira-kira 200 mter dari jalan raya selalu sepi bila jam kerja telah lewat.
Malam itu, malam jumat kliwon, Barun sudah diperingatkan isterinya untuk tidak pergi, karena katanya malam Jumat kliwon penunggu jalan sembilan suka muncul. Tapi Barun tak menggubris omongan isterinya, ia tak percaya pada hal-hal begituan. "Orang penakut suka susah cari rejeki", katanya.
"Malam semakin larut, hujan yang turun rintik-rintik cukup melicinkan jalan dan membuat kedaraan yang berlari kencang selip. Tapi tak satu pun kendaraan yang lewat di depan Barun yang mengalami kecelakaan. Barun mulai kesal, rokok jinggo yang dibawanya dari rumah sudah lama habis, sedang udara di sekitarnya terasa semakin dingin. Ia menggigil, batuknya mulai kumat, sebentar-sebentar ia merapatkan baju jaketnya karena angin malam menerpanya.
Keadaan di sekitar jalan sembilan terasa semakin sunyi, yang terdengar sekali-kali cuma deru kendaraan yang lewat perlahan-lahan menapaki jalan yang sangat licin.. Barun sudah hendak beranjak dari tempat duduknya untuk pulang, ketika didengarnya suara orang menyapanya dari belakang.
"Mau ke mana?" Barun celingukan mencari orang yang menyapanya, dikiranya satpam dari pos jaga kantor BPTP. Ketika orang itu muncul dari kegelapan Barun ketakutan, ia mundur beberapa langkah.
"Mbah Jamrong ....!", serunya dalam hati. Benar kata Tiyem, malam Jumat kliwon dia suka muncul. Barun belum pernah melihatnya walau pun kata orang-orang dia penunggu jalan sembilan. Bentuk wajah dan perawakannya hanya diketahui dari gambaran orang-orang yang pernah bertemu dengannya. Sekatrang Barun takut sekali melihat kakek tua bungkuk itu mendekatinya.
"Jangan dulu pulang!". Katanya. Barun hendak lari, tapi mendengar suara Mbah Jamrong yang mengandung persahabatan ia mengurungkan niatnya. Ia terpaku menatapnya.
"Sebentar lagi ada kedaraan sedan terguling di sini, tolonglah penumpangnya, nanti kau akan mendapat upah."
"Mbah tahu dari mana?" Barun memberanikan diri bertanya. Ketakutannya jadi sirna mendengar keterangan Mbah Jamrong.
"Lihat saja ...!" katanya sambil menunjuk ke arah barat. "Di sana ada kendaraan kecil menuju ke sini, pengemudinya senang ngebut." Barun melihat lampu mobil dari arah barat.
"Mobil itu Mbah?" tanyanya.
"Bukan, mobil yang kumaksudkan masih jauh."
"Tapi ini juga mobil sedan Mbah."
"Huss, diam!, mobil itu kepunyaan BPTP, mobil itu akan selamat. Lihat jalannya pelan sekali, pegemudianya sudah tahu jalan ini berbahaya." Sedan putih berplat merah itu lewat di depan Barun. Barun memperhatikan mobil-mobil yang datang dari arah barat. Beberapa diantaranya truk-truk gandengan. Ketika sebuah truk gandengan bermuatan puluhan speda motor Barun bergumam.
"Coba sekali-kali mobil seperti ini yang terbalik ...."
"Kalau mobil itu terbalik, kau mau apa?"
"Tidak apa ...." Barun malu berterus terang, dalam hati ia berkata. Kalau mobil bermuatan speda motor itu terbalik aku bisa pulang naik speda motor.
"Mana sedan itu Mbah ....?" Barun mengalihkan pembicaraan.
"Sabar ... mobil itu masih jauh, sekarang masih di daerah Cikampek, baru keluar dari jalan tol. Penumpangnya seorang koruptor, dia bawa perempuan nakal, mobilnya bagus!, hasil korupsi!"
"Apa penumpangnya akan mati?" tanya Barun. Hebat benar Mbah ini, pikirnya. Seperti akhli nujum saja.
"Semua penumpangnya pasti mati ...." setelah berkata demikian kakek itu pergi.

Samri yang mengemudikan kendaraannya dengan kecepatan 120 kilometer perjam merasa heran, biasanya bosnya yang duduk di belakang suka memberi eringatan. Tapi kali ini tak terdengar suara apa-apa. Bisikan dari perempuan cantik yang menemani bosnya juga tidak, apalagi yang lain-lain. Ah, jangan-jangan, hmmmm .... biarlah! asal tidak melampaui batas susila saja. Lagi pula Samri tahu siapa bosnya. Ia memang sangat menggebu pada perempuan yang dibawanya sekarang, tapi di perjalanan pasti bisa menahan diri.
Jam berapa sekarang?, ia bertanya-tanya dalam hati. Ah, tepat jam 12.00 kata hatinya pula sambil melihat ke arah jam mobil. Beberapa truk gandengan dan bus malam disalibnya juga honda accord yang tadi mendahuluinya. Memasuki daerah pesawahan Perum Sang Hyang Seri dan BPTP Sukamandi ia menambah kecepatan mobilnya, spedometer menunjuk angka 120 lagi, biar cepat sampai, pikirnya. Jalanan masih basah dan licin tapi ia tak peduli. Pikirnya BMW tak pernah selip meski di jalan yang licin. Memasuki jalan dua dan tiga ia berpaling ke belakang di mana sebenarnya bosnya yang genit itu sedang mengendus-endus leher perempuan di sebelahnya. Ia malu sendiri, cepat-cepat mengalihkan perhatiannya ke depan.
"Sungguh keterlaluan!" bisiknya pula dalam hati. Bininya di rumah pasti sedang menunggunya. Soalnya sewaktu tadi siang Samri ke sana, isteri bosnya itu seperti tidak tahu kalau suaminya hendak bepergian ke luar kota. Ia mengatakan hendak ke undangan dengan bapak jam delapan malam, dan Samri disuruh datang sebelum jam delapan.
"Aaaah ..... kasihan sekali ibu!, pasti beliau sudah dandan. Tapi mudah-mudahan saja bapak sempat meneleponnya sebelum berangkat."
Pikiran Samri jadi tidak tenang, ia teringat lagi kelakuan bosnya akhir-akhir ini, kepergiannya sekarang sangat mendadak, jangan-jangan perempuan ini hendak dikawininya. Soalnya ia tahu persis, perempuan ini berasal dari Indramayu. Sekarang ke kota itu bosnya hendak menuju. Tadi siang mereka belanja banyak sekali di Glodok. Aaaah .... bapak pasti kena guna-guna! sikapnya terhadap perempuan ini seperti tidak sewajarnya, aku harus cepat cari dukun kalau begini, untuk menangkal guna-gunanya. "Kasihan ibu ia wanita yang saleh.
Memasuki jalan 7 ia tersadar dari lamunannya. Ia tergida lagi melihat bosnya di belakang.
"Sialan ..." gerutunya. "Perempua itu cekikikan! entah diapakan sekarang."
Samri penasaran. Heran keinginan tahunya tak bisa ditahan. Kali ini terperangah .... Hah! kancing baju perempuan itu sudah terbuka semua!, laju mobil jadi tidak terkontrol. Ia lupa bahwa kira-kira 50 meter sesudah persimpangan jalan sembilan, jalan lurus itu sedikit berbelok, tak ayal lagi mobilnya melenceng keluar dari jalan. Mula-mula menabrak pohon mahoni keras seklai, kemudian terjungkal ke selokan.
Barun bersorak kegirangan. Ini mobil sedan yang dimaksud Mbah tadi., katanya dalam hati. Ia tak segera menghampirinya., takut kalau-kalau ada mobil berhenti memberi pertolongan atau satpam dari pos jaga kantor mendengar bunyi tabrakan dan datang memberi pertolongan, biasanya begitu kalau mereka tak ketiduran. Ketika ditunggu beberapa menit tak ada yang datang. Barun segera menjalankan operasinya. Ia tak menghiraukan si sopir yang sedang mengerang-ngerang kesakitan karena dadanya tergencet stang stir, ia tak menghiraukan pula si perempuan cantik yang kepalanya tersembul di antara remukan kaca mobil dan ia tak menghiraukan pula laki-laki setengah tua yang matanya sudah terbeliak dan mulutnya mengeluarkan darah segar. Yang diburu Barun hanya tas hitam yang tergeletak di lantai mobil dan tas tangan wanita yang terlempar ke luar.
"Apa engkau tidak akan menolong mereka?" Hati kecilnya bertanya.
"Kata Mbah dia seorang koruptor, biarsajalah! nanti juga polisi datang." Sebelum mlangkah pergi Barun sempat menarik jam tangan mas dari pergelangan tangan si alki-laki setengah tua dan gelang mas dari perempuannya.
"Dia sudah mati," bisik Barun. Ia tertegun sejenak memperhatikan wajah2 korbannya. Ngeri benar, mata yang terbeliak itu kini seperti memandangnya penuh ancaman. Ah .... hanya perasaanku saja, bisiknya pula sambil melangkah pergi.
Lumayan banyak harta jarahan Barun, dari tas echolak hitam ia menemukan uang kontan 5 juta rupaih dan dari tas tangan wanita ia menemukan perhiasan dan uang kontan 2 juta rupaiah.
Barun merasa uang sebanyak itu didapatnya dengan mudah, oleh sebab itu ia menghabiskannyam dengan mudah pula. Mula-mula ia membelikan anak dan isterinya baju-baju bagus dan perabot rumah tangga. Ia bisa hidup mewah beberapa bulan lamanya. Ia mendatangi tempat-tempat pelacuran dan perjudian. Ketika uang dan perhiasan jarahannya habis, ia kembali ke pekerjaan semula yaitu nongkrong di di pinggir jalan menunggu kalau-kalau ada mobil yang celaka. Tempatnya berpindah-pindah dari jalan satu sampai jalan dua belas. Tapi paling sering dekat perempatan jalan sembilan karena ia tahu di sana adalah tempat paling rawan kecelakaan lalu-lintas.
Satu malam lagi di musim hujan.
Hujan turun deras sekali, hari mulai gelap. Malam jumat kliwon Barun kembali menunggu kalau-kalau ada lagi kecelakaan mobil. Kali ini memakai jas hujan dan topi. Di pinggir sawah yang luas itu hanya dia seorang diri. Sengaja Kasmid tak diajaknya karena takut barang jarahannya mesti dibagi dua.
Satu dua kendaraan yang lewat di depannya seprti tak menghiraukan keberadaannya, karena para pengemudi menutup kaca mobil rapat-rapat. Berulangkali Barun menghidup udara basah dalam-dalam. Udara basah itu telah meningkatkan semerbak bau lumpur dengan aroma yang menyebar dari permukaan tanah. Tampaknya seolah pesawahan yang membentang luas di seberang jalan raya itu diliputi perasaan tegang seperti Barun.\
Setelah hujan agak reda terdengar suara burung hantu mengukuk, kemudian sunyi. Ia maju beberapa langkah ke muka dan berdiri di tengah jalan yang licin memandang ke arah barat. Angin keras menerjang dan meniup topinya hingga lepas, cahaya putih kuning kilat tampak berkelebat di kaki langit. Suara petir mulai terdengar bergemuruh, kemudian angin kencang menyusul, dan pucuk-pucuk pohon akasia di halaman kantor BPTP mulai bergoyang-goyang dan memukul-mukul. Cahaya kuning lampu neon berkejap-kejap seolah memberi peringatan pada mobil-mobil yang melaju dengan kencang bahwa perempatan jalan sembilan itu berbahaya. Dan ternyata memang demikian. Barun melihat sinar lampu mobil di sebelah barat, ia segera lari ke pinggir dan beberapa detik kemudian Barun melihat mobil itu lewat di depannya, tapi laju mobil itu seperti tak terkendalikan. Barun kaget luar biasa karena tak disangkanya mobil itu keluar dari jalur, menabrak pohon mahoni kira-kira 20 meter jauhnya dari tempat Barun berdiri.
"Duaaar ......." Bunyinya keras sekali. Seperti biasa Barun bersorak kegirangan. Aku dapat ikan kakap lagi!, bisiknya. Keadaan di sekitar situ gelap gulita, tapi anehnya Barun bisa melihat jelas kendaraan yang terbalik di hadapannya. Ia tertegun sejenak. Seperti sedan yang dulu, bisiknya perlahan. PAsti orang kaya lagi yang ada di dalam. Barun melongokkan kepalanya melalui kaca depan yang hancur. Aneh .... pikirnya, keadaan di dalam sama persis dengan yang dulu, wajah para penumpangnya pun sama dan dalam posisi yang sama pula! Sopir sedang merintih karena dadanya tergencet stang stir. Laki-laki setengah tua yang matanya terbeliak dan mulutnya mengeluarkan darah segar juga sama, dan perempuan itu .... ah, pikiran Barun jadi kacau.
Barun hendak meraih tas echolak hitam yang tergeletak di lantai mobil bagian belakang, tapi gerakan tangannya terhenti seperti ada kekuatan gaib yang menahannya. Ketika matanya sekali lagi melirik ke arah laki-laki itu jantungnya berdegup kencang. Ia masih ingat wajahnya .... kenapa serupa betul? Barun mundur selangkah. Ia takut setengah mati ketika mata yang tadi terbeliak itu kini memandangnya. Barun menyeka matanya, tapi yang ia lihat bukan cuma sekedar halusinasi. Ada lagi tambahannya, sekarang tercium bau bangkai dan bau darah memualkan. Ia benar-benar tak percaya ketika kini dilihatnya perempuan yang kepalanya tersembul di atas pecahan kaca itu pelan-pelan bergoyang, juga sopir yang dadanya tergencet stang setir itu bangkit.
Mata Barun melotot karena ngeri, lidahnya kelu, badannya lumpuh selama memperhatikan ketiga orang yang muka berlepotan darah itu mendekatinya. Barun ingin pingsan seketika, akan tetapi ia sadar, di alam sadar ia melihat ketiga orang itu mendekat dan makin mendekat. Bau bangkai dan amis darah makin menusuk hidung. Ia harus bertindak cepat!.
"Apa yang kalian inginkan?" akhirnya ia bisa juga membuka suara.
"Mana tas tanganku?" si perempuan itu yang pertama bertanya.
"Mana tas dan arloji tanganku?" Si laki-laki tua itu ppun menyambungnya.
"Kau bukannya menolong kami, kau malah merampok, perbuatanmu sungguh keji!" Kata si sopir.
Barun sadar kini, ketiga mahluk yang berada di hadapannya itu adalah ruh-ruh penasaran dari orang-orang yang dirampoknya dulu. Kengerian makin menjadi-jadi. Ia mundur beberapa langkah. Dan karena takutnya, tak terasa ia mundur ke arah jalan raya yang hendak dilalui bus malam yang lari dengan kecepatan penuh. Ia tak mendengar suara busa yang menderu keras di sebelahnya, perhatiannya benar-benar tertuju pada tiga mahluk yang hendak memburunya. Ia tak sadar bahwa beberapa detik lagi, bus malam itu akan menghantam tubunya tanpa ampun.
Pemanadangan terakhir yang ia lihat di bumi ini ialah wajah-wajah mengerikan yang menyeringai penuh dengan kepuasan ......***

4 komentar:

  1. Satu2nya alasan karya Bu Yatti blm dimuat di Kompas, adalah pilihan temanya.
    Tema horror/misteri hampir tdk pernah mendpt tempat.
    Satu yg disayangkan dari media sekelas Kompas mmg adalah sangat kurangnya keragaman tema dan gaya.
    Padahal karya sastra Indonesia sangat kaya warna, amat sayang bila yg ditampilkan hanya yg itu-itu saja.

    BalasHapus
  2. sereeeeemmmmmm,,,,,!!!!!

    BalasHapus